Januari 12, 2010 pada 12:18 pm
Israr Iskandar, dosen Universitas Andalas Padang dan fellow di CIRUS Jakarta
Departemen Dalam Negeri kini mengkaji wacana gubernur dipilih DPRD. Gagasan ini menimbulkan resistensi, karena dinilai sebagai kemunduran pelaksanaan demokrasi kita. Pemilihan Gubernur oleh DPRD akan mengembalikan model politik lama yang mematikan peranserta rakyat.
Depdagri mendasarkan argumentasinya pada posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta pertimbangan efisiensi pilkada lewat DPRD. Tapi argumentasi ini tentu harus dikaji lagi. Keharusan posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tak harus membalikkan sistem pilkada. Kegagalan gubernur, misalnya mengkoordinasi bupati/walikota selama ini tak akan terselesaikan, bahkan bisa bertambah repot, jika gubernur dipilih DPRD.
Lagi pula, dalam jangka waktu tertentu, pelaksanaan ide itu juga bisa merusak persepsi publik atas demokrasi. Kelak atas nama efisiensi, bisa pula muncul ide agar pilkades/wali nagari, pilkada bupati/walikota, bahkan pilpres, diserahkan lagi kepada elit-elit politik di lembaga perwakilan rakyat. Di Sumbar sendiri bahkan sudah muncul gagasan pemilihan wali nagari secara musyawarah-mufakat.
Padahal pilkada lewat DPRD kerap mendistorsi demokrasi. Selain mengebiri hak politik rakyat, pilkada model lama kerap diliputi permainan uang yang tak kalah borosnya. Wakil-wakil rakyat di DPRD cenderung menjual suara-suara mereka kepada calon-calon kepala daerah. Akibatnya, pilkada tak lebih arena transaksi ekonomi politik antara calon kepala daerah dan anggota DPRD.
Saat menjabat, kepala daerah pilihan DPRD akan terus “berhutang budi” kepada legislator-legislator yang memilihnya. Mereka cenderung lebih “takut” kepada DPRD daripada rakyat maupun pemerintah pusat. Pada akhirnya, lima tahun proses politik lokal hanya menjadi arena permainan kepentingan oligarki eksekutif-legislatif. Sedangkan, posisi rakyat akan tetap menjadi pelengkap penderita.
Sistem penyelenggaraan
Pilkada langsung memang masih mengandung banyak kelemahan. Namun bukan berarti tak ada keunggulan sama sekali. Pilkada langsung, dalam batas tertentu, justru mampu mewujudkan kedaulatan rakyat dalam arti sebenarnya. Kredo “suara rakyat suara Tuhan” (vox populi vox Dei) relatif lebih tercerminkan dalam sistem pemilihan langsung.
Kelemahan pilkada langsung yang dikeluhkan selama ini umumnya terletak pada sistem penyelenggaraannya. Pertama, ongkos pilkada langsung amat mahal. Untuk 2010 nanti, rata-rata pilkada gubernur diprediksi menelan biaya 250 miliar. Di Pulau Jawa bahkan bisa mendekati angka 1 triliun, sebagaimana pada Pilkada Jatim 2008 silam. Belum lagi biaya dari calon-calon kepala daerah untuk mensosialisasikan diri.
Diperlukan upaya memperbaiki mekanisme penyelenggaraan pilkada supaya lebih efisien, tapi tetap memperhatikan berlakunya asas kedaulatan rakyat. Ide menggelar pilkada secara serentak untuk 2010 dapat menghemat biaya negara sampai separuhnya, sekalipun diperlukan pengkajian lebih cermat lagi supaya tak menimbulkan bentuk-bentuk distorsi demokrasi lainnya.
Kedua, hegemoni partai-partai kerap merusak nilai demokrasi ketika calon kepala daerah harus mendapatkan tiket untuk maju dalam pilkada. Pengurus partai politik kerap menjadikan partainya sebagai “perahu sewaan” bagi calon-calon kepala daerah. Dalam batas tertentu, hal ini memang sulit dihindari, tapi ke depan mesti bisa dibenahi dengan perbaikan aturan yang mengarah pada penegakan etika dan kualitas rekrutmen calon kepala daerah di internal partai.
Ketiga, pilkada langsung belum diimbangi sistem pengawasan kuat. Diperlukan terobosan memperkuat sistem pengawasan pilkada, khususnya lewat pemberdayaan KPUD dan Panwas. Pemilihan KPUD dan Panwas berdasarkan preferensi parpol jelas menjadi salah satu titik lemah penyelenggaraan pilkada. Jaminan kredibelitas pilkada justru dimulai dengan keberadaan KPUD dan Panwas yang relatif bebas dari preferensi-intervensi partai.
Pemimpin Progresif
Kondisi objektif di banyak daerah saat ini tak hanya membutuhkan pemimpin-pemimpin yang terpilih secara demokratis, tetapi juga tipikal progresif dan pembaharu. Selama ini, calon pemimpin progresif kerap “dikalahkan” pemimpin populer bahkan “populis”. Padahal, semakin banyak pemimpin progresif di daerah, kelanjutan kepercayaan atas pelaksanaan demokrasi lokal akan lebih terjamin.
Mekanisme demokrasi yang ada belum sepenuhnya menyediakan ruang bagi munculnya kepala daerah tipikal pembaharu. Karena itu, tugas pokok ke depan, semestinya diarahkan untuk memperbaiki mutu penyelenggaraan pilkada. Kapan perlu, jadwal ratusan pilkada tahun 2010 ditunda untuk memperbaiki mekanisme demokrasi lokal yang ada. Jangan putar lagi jarum jam sejarah ke belakang hanya karena kegagalan kita membenahi kualitas pelaksanaan demokrasi di daerah.
No comments:
Post a Comment