Annas Nasrullah - Subang
Indonesia - dobeldobel.com
Setelah “mencuri” Reog Ponorogo, kali ini Malaysia mengklaim Tari Pendet Bali. Dan seperti halnya saat Reog Ponorogo, pemerintah, dan kita hanya bisa bereaksi dan berdemonstrasi atas klaim itu. Tentu saja reaksi itu muncul tuntuan hak paten.
Masyarakat, seniman Bali dan sesepuh penari Bali memprotes klaim Malaysia atas Tari Pendet. Mereka meminta Malaysia untuk segera mencabut Tari Pendet dari iklan pariwisata negri jiran tersebut. Protes ini mereka tuangkan dalam sebuah Pagelaran Tari Pendet di Art Center, Jl Nusa Indah, Denpasar, Bali, Sabtu (22/8/2009).
Tampak hadir dalam pagelaran itu, I Wayan Dibia, dan Luh Arini penggubah Tari Pendet versi tontonan. Hadir pula Anggota DPD RI asal Bali Ida Ayu Agung Mas. “Kita prihatin asal diklaimnya Tari Pendet yang berasal dari Bali oleh Malaysia. Kami anggota DPD, masyarakat, seniman dan sesepuh penari Bali meminta agar Malaysia mencabut Tari Pendet dalam iklan-iklan mereka,” ujar Ida Ayu Agung Mas di sela-sela aksi.
Menurut Ida Ayu, dalam waktu dekat pihaknya melayangkan protes pada Malaysia melalui DPD RI dan pemerintah RI. “Masyarakat Bali siap membantu pemerintah untuk mendata ulang berbagai kesenian yang ada di Indonesia,” ungkapnya.
Pendet merupakan salah satu tarian paling tua di antara tarian sejenis di Pulau Bali. “Berdasarkan beberapa catatan, para ahli seni pertunjukan Bali sepakat menyebutkan 1950 sebagai tahun kelahiran Tari Pendet,” ungkap Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Wayan Dibia di Denpasar.
Ia mengatakan, Pendet sejak diciptakan selalu dijadikan acara pembuka bagi sajian tari Bali lainnya. “Tari Pendet adalah tarian kelompok yang biasanya ditarikan sekelompok remaja putri di mana setiap orang penari membawa mangkok perak (bokor) berisikan bunga warna-warni,” tambahnya. Pada akhir tariannya, para penari menaburkan bunga-bunga yang dibawa ke arah penonton sebagai wujud ungkapan dan ucapan selamat datang.
Penggagas dari tarian tersebut, menurut Dibia, adalah dua seniman kelahiran Desa Sumertha, Denpasar, yakni I Wayan Rindi dan Ni Ketut Reneng. “Kedua seniman ini menciptakan tari Pendet penyambutan dengan empat orang penari untuk disajikan sebagai bagian dari pertunjukan turistik di sejumlah hotel yang ada di Denpasar, Bali,” kata dia.
Pada 1961, I Wayan Beratha mengolah kembali tari Pendet tersebut menjadi polanya seperti sekarang, termasuk menambahkan jumlah penari menjadi lima orang. Setahun kemudian, I Wayan Beratha dan kawan-kawan menciptakan tari Pendet massal dengan jumlah penari tidak kurang dari 800 orang untuk ditampilkan dalam upacara pembukaan Asian Game di Jakarta.
Fakta tersebut jelas bertolak belakang dengan klaim Malaysia. Belum lama ini, negara serumpun ini mengatakan tarian Pendet sebagai budaya mereka. Bahkan, tarian yang terkenal seantero dunia berasal dari Bali atau Pulau Dewata itu dicantumkan dalam iklan kunjungan wisata mereka.
-----------------------------------------
Malaysia Indonesia, antara Mungkin dan Mungkin
Sumber : Puput - dobeldobel.com
Beberapa hari ini gw sering dapet email mengenai reog yang di klaim oleh Malaysia, sepengetahuan gw reog itu dari jawa timur, atau selama ini gw yang salah, walaupun gw bukan ahli sejarah dan bukan warga negara Indonesia yang baik -pernah ngulang 2 sks mata kuliah kewarganegaraan-, gw tetep yakin kalo reog itu dari Indonesia.
Ternyata bukan cuma reog doang lho yang di klaim, dari lagu tarian dan lain-lain juga di klaim, apa yah yang sebenernya terjadi?. Kalo di liat dari sejarah -nilai sejarah gw di sma memprihatinkan- "katanya" jaman dahulu Malaysia belajar dari Indonesia, berarti mungkin Malaysia menganggap kita(Indonesia) sebagai guru atau orang tua, jadi ada kemungkinan Malaysia menganggap dirinya sebagai anak didik dan merasa bahwa dia berhak atas warisan orang tua atau gurunya, dan juga mungkin karena orang tuanya lagi sibuk ngurusin negara dan perangkatnya, sebagai anak yang sudah mandiri Malaysia merasa berkewajiban memoles warisan orang tuanya, hanya saja anak sama orang tuanya gak kompromi dulu.
"Plok cape deeeh", ibarat anak sama bapak dalam satu rumah, bapaknya lagi sibuk cari duit dan cari bini baru buat ngurus rumah, si anak enak2an ikut gank motor, udah gitu dia bilang kalau motor itu punya dia, "warisan babe gw" katanya, dan dia mo jual murah kalo ada cewe yang mo cium dia, kebetulan ada cewe yang mo beli tuh motor (masalah yang cium jangan di pikirin), si anak pulang bawa duit segepok, pada saat si bapak pulang dan tahu keadaan yang sebenernya, kontan aja si bapak ngamuk-ngamuk, coba si anak kompromi dulu sama bapak trus bilang nanti bisa dapet ciuman dari cewe, kan ada kemungkinan bapaknya mengijinkan motornya di jual.
Kalau gw liat kebudayaan Indonesai sendiri, selain dari kebudayaan aslinya juga terdiri dari bermacam macam kebudayaan negeri lain, India, arab, cina dan banyak lainnya, hanya saja kita (mungkin)mengakui bahwa kebudayaan kita itu terpengaruh juga dari kebudayaan negeri lain. Hmmmm jangan2 sebenernya Malaysia sudah mengumumkan bahwa kebudayaan dia juga banyak terpengaruh dari kebudayaan Indonesia. hmmm kayaknya enggak deh, eh atau jangan2 udah yah.
------------------------------------------------------------------------
Malaysia Indonesia: "What happening Syed Hamid?"
By Din Merican - dobeldobel.com
It is common knowledge among friends and aficionados of Indonesia here in Malaysia that our relations with the largest Muslim democracy in the world has turned sour since Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi took office in 2003. We appear to have taken our Indonesian friends for granted and are a constant source of irritation and angst.
It is true that during the premiership of Tun Dr. Mahathir, Malaysia-Indonesia relations have at times been rather strained because both former President Suharto and the Tun are strong personalities, both seeking to play a dominant role in ASEAN, OIC and NAM, but it was still manageable. Today, despite claims by Badawi that he and President Susilo Bambang Yudhoyono enjoy strong and close fraternal relations, tensions between the two ASEAN states have reached a point of crisis.
Outstanding issues remained unresolved and Malaysia is being perceived by Indonesians, in particular the free and independent media like magazine Tempo, as arrogant and “too big for its own shoes”. What is our hang-up(s)? Dato Seri Anwar Ibrahim, who is a popular political icon and frequent visitor to the reform-driven and proud Republic, informed me the other day that Malaysia must manage our relations with Indonesia with a high level of sophistication and deep understanding of Indonesia’s history, arts and culture, and the people. We cannot deal with Indonesia on the basis of arrogance and bloody-mindedness.
Denger2 kambing hitamnya dilempar ke Discovery Channel, sebagai tukang pembikin teaser program acaranya. Tapi kalau ente penganut faham konspirasi, pasti punya arahan dan hubungan antara pariwisata dengan terorisme. bagaimanapun juga, teroris masih tetap punya perut dan butuh makan. Lho????
ReplyDeleteweleeeh.... coba diskusikan sama yg bersangkutan Menteri Budaya & pariwisata (Menbudpar) : Jero Wacik (LOOH) ko jero !!
ReplyDeletehahha....
sekarang baru Malingsia enta siapa lagi yang akan menjadi maling lainnya kARENA semua ini akibat salah kita sendiri terutama PEMERINTAH yang tidak peduli untuk segera menghakpatenkan semua budaya,tradisi jg istiadat negeri ini. KAULA MUDA sekarang ini lebih menyukai budaya yang datangnya dari LUAR NEGRI budaya bangsanya ditinggalkan, maka pantas saja negara lain mencurinya. jadi semua ini merupakan keGOBLOGan kita sendiri
ReplyDelete