DPRD Kota Bekasi, dapil Bekasi Barat - Medan Satria.
Bekasi, dobeldobel.com
Pasca pencontrengan, ternyata menyisakan rasa sesak di dada Abdul Muin Hafied. Wah, apakah karena sudah kalah perhitungan suara dan semakin terbayang tidak bisa mengembalikan “cost politik” yang telah dikeluarkan dalam usaha menikmati kursi legislatif?
“Saya eneg (sesak) memikirkan kondisi bangsa ini” tutur pak RW tiga periode ini, pasca pemilu Sabtu 11 April 2009 di kediamannya, Perum Pejuang Jaya, yang masih saja dipenuhi para pendukung dan tim suksesnya.
Wah apa pasal? Rupanya pengusaha bidang pendidikan ini, memandang sedih terhadap tingkat melek politik masyarakat dalam pemilu 9 April 2009 kemarin. “Ini harus disikapi secara serius oleh pemerintah terpilih nanti!” tegasnya. Dalam pelaksanaan Pemilu kemarin, banyak fakta yang dibeberkan secara gamblang kepada team reporter dobeldobeldotcom.
“Rakyat memilih partai dan bukan calegnya ketika mencontreng tempo hari. Akibatnya, tingkat keterpilihan para caleg juga tidak signifikan!” tukasnya. Menurutnya, ini adalah sebuah kenyataan, bahwa para pemilih mengalami kebingungan dalam memilih calon perwakilannya, karena saking banyaknya pilihan. Bahkan dengan terang-terangan, Muin Hafied menegaskan bahwa sebaiknya jumlah Parpol juga dikurangi, “Sehingga tidak sebanyak sekarang!” simpulnya.
Selain itu, pendidikan politik juga harus menjadi konsen khusus, agar Pemilu 2014, tidak mengulangi kesalahan Pemilu 2009. “Rakyat harus tahu, caleg lah yang mewakilinya, dan bukan partai” terangnya. Para caleg itulah yang bilamana terpilih, akan menjadi perwakilan rakyat, dalam memperjuangkan aspirasi rakyat di mana dia dipilih, dan sekaligus menjadi pelayan terhadap kepentingan aspirasi rakyat di daerah pemilihannya pula. “Itulah kompetensi para caleg jika terpilih sebagai anggota legislatif nantinya!” terangnya.
Jebolan sarjana ekonomi dan master pendidikan ini menyorot tentang keberadaan wakil rakyat di DPRD Kota Bekasi yang duduk tidak dalam kapasitas serta kompetensi yang sesuai, sehingga tidak menjalankan fungsi perwakilannya. “Legislatif nantinya harus punya kemampuan dalam mendukung eksekutif. Keseteraan derajat yang dimilik legislatifi dengan eksekutif harus terlihat jelas, bahkan bila perlu Legislatif sebagai superbody bagi eksekutif dan pelayan langsung seluruh rakyat yang dulu emilihnya maupun tidak.” jelasnya.
Diakuinya kepada dobeldobeldotcom, bahwa perhelatan Pemilu 2009 kemarin, mengharuskannya merogoh kocek sampai nominal ratusan juta. Tapi itupun dikeluarkannya secara bertahap, sedikit demi sedikit. “Maklum, saya kan pengusaha, jadi sedikit ada rejeki, kemudian sedikit pula dikeluarkan,” tukasnya tanpa bermaksud pamer.Namun aksi kampanye yang diakuinya dilakukan dengan niatan luhur memberikan pendidikan dan pelayanan kepada masyarakat, dirusak oleh aksi serangan fajar dan money politic. Menurutnya, aksi ini merusak langkah-langkah mendidik dan melayani masyarakat di sekitarnya yang telah dibangun secara bertahap melalui pendekatan Multi Level Marketing, yang dilakukan secara terarah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun karena segelintir kelompok caleg dari partai-partai tertentu melakukan pembagian sembako atau uang sehari menjelang pelaksanaan pemilu, maka rusaklah proses panjang pendidikan politik yang telah dilakukan oleh caleg lain yang mencoba bermain bersih dan jujur.
"Memang beda tipis antara money politic yang dilarang dengan kegiatan sosialisasi seperti fogging, bakti sosial, pengobatan gratis dan hal-hal lain yang serupa." aku sang caleg pengusaha dunia pendidikan ini. Baginya kesemua hal tersebut, ya menggunakan instrumen biaya, uang sebagai mesiu utamanya untuk bertempur. Bisa jadi karena panwaslu sendiri sepertinya tidak mempunyai juklak atau aturan definitif tentang penafsiran "money politic" yang bagaimana yang masuk kategori haram atau tindakan pelanggaran pemilu.
Dengan munculnya pembelian suara rakyat dengan iming-iming uang dan sembako saat sehari menjelang pemilu di kalangan masyarakat level tertentu (biasanya perkampungan yang bukan tinggal di komplek perumahan), maka ini merusak tatanan pendidikan politik. Karena saking bingungnya rakyat pemilih (konstituen) di wilayah yang dimaksud maka saat ada tawaran bantuan sosial (apapun itu bentuknya) yang sebetulnya bisa dikategorikan money politic akhirnya bagi mereka adalah siapa yang terakhir memberikan sesuatu kepada mereka itulah yang paling gampang diingat untuk dipilih, demikian ungkapnya kritis.
No comments:
Post a Comment