PERILAKU ABU-ABU
Siapa bilang jadi pemimpin itu mudah, demikian pula sebaliknya emang susah banget apa? Kalau dalam istilah permainan (saya jadi ingat sebuah ayat Al-Qur'an, "... bahwa dunia itu adalah permainan..." Coba kita ngebayangin apa seh yang sebenarnya terjadi dengan bermain?
Allah swt. emang bener-bener baik sama kita kan. Kita diciptakan dan kita disuruh hidup dengan segala modal dan sumber daya yang diberikan buat kita, terus Allah mengklaim bahwa hidup kita ini adalah permainan (senda gurau). nah sekarang tinggal bagaimana kita merefleksikan ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana kita bermain dalam kehidupan yang cuma "gak akan" lebih dari 100 tahun. (Halah paling banter untuk orang Indonesia seh 70 tahun...)
Beberapa minggu lalu saya secara berturut-turut kehilangan orang yang ada hubungannya dengan saya. Satu orang saudara di keluarga kampung ibundaku Suwarni Sidik, yakni Desa Sirnoboyo, Prembun. Saya punya kakak sepupu (anak dari kakak ibu saya, Bude Rufingah), mas Toyo namanya (Muhartoyo). Dia adalah salah satu saudara sepupu tua saya yang pernah sedikit banyaknya membentuk dan mendidik masa kecil saya. Banyak pelajaran yang telah dia berika tentang kehidupan pada masanya.
Sayangnya, di masa tuanya, istrinya yang pertama tewas tertabrak mobil, jauh setelah perceraian mereka. Saya jadi kasihan dengan keponakan-keponakan saya, seperti Thomas, Handoyo. Mereka kehilangan figur ibu mereka saat mereka masih remaja. Kalu saya kehilangan bapak saya di usia yang sangat dini (6 tahun), namun ibu saya adalah seorang pegawai negeri departemen keuangan, inspeksi pajak.Jadi nggak terlalu masalah buat masa depan saya. Lain halnya dengan kakak sepupu saya, Mas Toyo. Semenjak berhenti kerja di Angkasa Pura I, Kemayoran, dan kemudian dia berpisah dengan istrinya, Mas Toyo pindah ke Jawa. Di sana ia tinggal dengan keluarga ibuku, yakni Simbah Kakung, Simbah Putri dan Bu Gede Mar.
Bertahun-tahun kemudian, kakak sepupuku itu menderita stroke, karena masa mudanya yang jarang sekjali memperhatikan kesehatan. Dia suka sekali merokok dan kadang minum jamu-jamuan tapi dicampur dengan anggur kolesom. Setelah selang beberapa tahun dan keluarga senior dari pihakku mulai mangkat satu persatu, mulai dari Mbah kakung, kemudian Pakde Cip, kemudian Mabh Putriku yang terakhir. Otomatis yang tertinggal adalah budeku Bugede Mar (Bu Gede Mariah).
Namun usianya yang tua rupanya tak mampu lagi menjaga bahkan melayani ponakannya, mas Toyo yang mulai berangsur sembuh. Kebetulan ada saudara jauh yang tinggal di belakang rumah simbAhku, namanya mbak Titur, yang kemudian mau dinikahkan dengan mas Toyo. Jadi mas Toyo ada yang merawat dalam kesakitannya yang sangat membuat dirinya tergantung.
Sayang, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, mbak Titur pun akhir pergi meninggalkan mas Toyo setelah melalaui sakit yang berkepanjangan. Sungguh tragis dan sulit saya bayangkan bila itu terjadi pada saya. karena bagi saya anak-anaknya mas Toyo walaupun sudah dewasa tetap saja kehilangan figur pelindung dan penjaga yang harus membesarkan mereka.
Mas Toyo mempunyai adik, namanya Sulistiaingsih. Kami sekeluarga lebih sering memanggilnya Mbak Sulis atau Mbak Genit. (Karena dari kecil ia cukup dikenal cantyik dan genit dalam pengertian bahasa Jawa dulu, tidak seperti genit jaman sekarang. Dan lagi itu adalah panggilan mesra dari keluarga kami buat mbak Sulis). Adiknya itu, mbak Sulis, dinikahin sama kaka sepupu saya juga, mas Sumardiyono anaknya Bugede Mar.
Dari pernikahan Mas Sum dan Mbak Genit lahirlah dua putra-putri. Satu Shanti, yang kini sudah berkeluarga dan akan menjadi seorang ibu dalam beberapa bulan lagi. Keponakanku yang lain, adiknya Shanti adalah Yugo Wahono, namun ia lebih senang bila dipanggil Yogo. Keponakanku ini lumayan ganteng. Maklum, ayahnya mas Sum (yang dulu juga pernah membesarkan aku saat ia masih bujangan ikut ibuku menjaga aku dan adikku, Nur Haslinda).
KEMATIAN YANG PASTI DATANGNYA
Pada intinya dari tulisan saya kali ini, setelah kematian istri saudara sepupu saya, mas Toyo, yakni si Mbak Titur, 2 hari kemudian meninggal Mbak Genit, kakak sepupuku itu. Mendengar kakak sepupu saya itu meninggal, saya jadi lemes. Ingat saat masa kecil sewaktu kehilangan salah satu paman saya yang di ketentaraan. Namanya pak Supradiman, suami bulek saya Bu Kustini (Bu Kus). Dulu saya sempat menangis keras sewaktu meninggalnya paman saya itu. Maklum, karena saya adalah anak yatim yang mengenal figur seorang ayah melalui paman, kakak sepupu. Jadi wajar kalau saya seperti kehilangansesuatu yang sangat berharga.
Lalu apa hubungannya dengan judul tulisan saya di atas? Pengemban Amant yang Tetap Saja Konyol. Tunggu dulu bung dan nona, saya belum selesai. 3 hari setelah kematian dua saudara saya, saya pergi ke percetakan, Parahyangan, Bekasi yang lokasinya terletak di depan Stasiun Kereta Bekasi. Di sana saya paling sering adalah ke percetakan sahabat saya yang pernah sekali jadi bos saya beberapa tahun lewat. Rapido Printing, nama percetakan itu, dipimpin oleh seorang Batak bernama Irfandi Hutasuhut. Batak yang dikenal cukup halus walaupun berperawakan keras dan sangar.
Anehnya saat ketemu dengan dia, yang biasanya kami suka bercanda dan dia sering menggoda saya, tumben-tumbennya ia mengajak saya ke tempat yang "lebih nyaman", (Dia belakang waktu saya mengerti kalau yang dimaksudnya adalah mushola).
"Ayu Zal, ke tempat sejuk buat istirahat kita, sekalian ada yang saya mau omongin...!" Itulah perkataan yang paling saya ingat.
Ya sahabat saya Irfandi Hutasuhut bin Mangaraun Hutasuhut, anak Batak yang merantau ke Jakarta karena takut dikejar polisi setelah menabrakkan truk temennya dan menjatuhkannya ke dalam jurang. Hehe... dasar anak petualang... anehnya dia sering mengejek nama saya yang ada Kelana Rizalnya.... Ganti Rizal, nama kau itu... Kelana... alias Kapal Selam... (demikian dia panggil saya karena saya yang suka timbul tenggelam, kadang nongol kadang hilang seperti kapal selam).
Saat setelah sholat Asar, dia istirahat. dan saya pun sibuk dengan pekerjaan saya memesan orderan cetakan buat klien saya yang caleg partai tertentu. Saya dipanggil oleh temen saya, mas Slamet, yang juga anak buahnya Bang Irfandi Hutasuhut.
"Hei Zal, tuh tolongin Bos kita.... dia kayaknya minta dipijit tuh sama kamu!!"
Saya pun bergegas ke arah kantin dan mencari dirinya, tampak di kursi kantin mbak Dewi, bang Rapido (panggilan akrabnya yang sebenarnya adalah nama anak laki-lakinya) sedang dikerumuni beberapa orang. Rupanya ia terlalu lelah dan lemas sekujur tubuhnya juga terasa dingin. Saya pun segera memeriksa tekanan darahnya di lengan. Sayangnya saya lupa memeriksa matanya (iridologi) karena saya pikir ini hanya kelelahn karena habis bergadang selama beberapa hari.
Walaupun sudah saya pijat beberpa kali, tetap saja dia tidak segera merasa siuman dan segar. Sya tahu itu, akhirnya saya mencoba iuntuk mengelurkan racun di dalam tubuhnya, karena kuat dugaan saya bila ia masuk angin. Dengan menekan beberapa titik di jemari tangan dan lengannya, tak berapa lama ia pun termuntah-muntah.
Dan masya Allah... muntahnya sangat banyak, dan kembali sekujur tubuhnya mengucurkan keringat dingin. Saya pun merinding melihatnya... Tanpa sadar saya teringat akan sesuatu yang menyeramkan... tapi segera saya hilangkan dengan banyak bertasbih. Bersamaan dengan saya terus mengurut dan memijat sahabat saya itu.
KEHILANGAN SAHABAT SEJATI ADALAH HILANGNYA RUH KITA SENDIRI
Menurut cerita teman-teman, selesai sholat, bang Rapido, alias Irfandi Hutasuhut ini langsung berkunang-kunang dan terduduk lemas dengan tatapan kosong. Dia keluhkan pusing yang sangat luar biasa. Kemudian beberapa temannya juga sempat mebopongnya, karena dia nyaris terjatuh karena seperti orang pingsan. Satu hal yang paling saya ingat, adalah ketidakmapuannya untuk membuka kelopak mata.
"Malas bangat Zal, saya mau istirahat saja...!!!", demikian ia katakan saat saya tanya.
Rupanya itu adalah pertemuan saya yang terakhir dengannya. karena saya biarkan dia istirahat, setelah beberapa teman lainnya dan tulang (pamann) Bang Hutasuhut menyarankan untuk membawanya ke Rumah Sakit.
Berhubung badannya yang luar biasa besar, maklum tingginya 170 cm dan beratnya lebih dari 90kg, maka saat dipindahkan dengan digotong bersama-sama sedikit ada lima sampai tujuh orang yang membantu. Ia dipindahkan ke meja di ruang cetakan dekat mesin cetaknya yang saat itu tidak dioperasikan, Setelah salah satu sahabatnya, Mas Zaenal (Tukang Ojek yang dipekerjakan sebagai kurir barang cetakannya secara freelance) berhasil mencari taksi, maka segeralah Irfandi Hutasuhut dibawa ke dalam taksi dan diberangkatkan ke rumah sakit umum Bekasi.
Sepulangnya dari urusan cetakan, saya istirahat tertidur karena lelah bekerja seharian. Paginya menjelang azan Shubuh, saya merasakan sesuatu yang nggak nyaman. Entah bagaimana, saya kok merasa kuatir dengan keadaan sahabat saya itu. Saya pun menghubungi mas Slamet untuk menanyakan no telp Bang Hutasuhut yang baru. Well, kamu bisa tebakkan... itulah telepon paling menyedihkan di awal hari. Sya terkjejut sedikit berteriak, saat dijawab telepon saya oleh anaknyam bahwa ayahnya, sahabat saya, Irfandi Hutasuhut meninggal menghadap sang Khaliq.
Tiga nyawa dalam satu minggu melayang dari kehidupan saya. Semuanya masih ada hubungan dengan saya. Maka dari itulahg saya langsung seperti diingatkan oleh Allah swt tentang kematian.
Sekarang saya merasa apa artinya amanah. Mulai dari pekerjaan. Order cetakan adalah amanah. Tulisan hasil wawancara adalah amanah. Bermain internet dan ngeblogs ya juga amanah. Punya anak juga amanah. Berkeluarga juga amanah. Punya anak juga amanah. Punya harta sepeti motor, rumah sampe yang terkecil seperti handphone, memori card, tas, ikat pinggang, flashdisk dan juga laptop semuanya itu adalah amanah. (Sebenernye gue lagi ngomong apaan seh?)
PERENUNGAN HATI
Ya itu tadi... semua yang melekat pada diri kita adalah amanah. Termasuk keahlian kita untuk hidup. Juga nyawa kita... itu semua amanah om dan tante.
Saya jadi takut dengan persiapan amal yang harus saya bawa menjelang kematian saya sendiri. Terus kenapa saya kok merasa masih saja konyol.... Bahkan penampilan saya semakin bergaya koboy... (mending kalo caverboy..) tapi ini ngoboy.
Saya sedikit banyaknya mengerti tentang mengaji sebagai kebutuhan dan kewajiban saya setiap waktunya. Tapi penampilan fisik saya menurut beberapa teman saya bahwa saya nggak seperti kebanyakan seorang ikhwah (ikhwan) dari kalangan orang-orang yang sering ikutan LIQO. Biasanya hanya anak-anak PKS saja yang mengerti.
Tapi saya juga nggak begitu peduli amat. Cuma ketika melihat dan mendengar kematian beberapa orang yang saya kenal berlalu di depan saya.... Kok saya seperti ada yang "menegur" hei Sidik (Nur Sidik Kelana Rizal).... Ada Apa Dengan Mu Sidik? kamu adalah Pengemban Amanat... Tapi Kok Masih Aja Tetap Konyol?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ChatBox
Popular Posts
-
1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 1 Ir. Samuel Koto (Padang Panjang, 5 Juli 1956)(L)(Jakarta Selatan) -Ketua DPP Partai Hanura -salah se...
-
Gue mau tanya. Ketika gagal, biasanya kita suka cari kambing hitam bukan? Nah, yang gue tanyain, kenapa mesti kambing? Dan kenapa mesti ...
No comments:
Post a Comment