Thursday, October 23, 2008
BLACK CAMPAIGN, HALALKAN SEGALA CARA DALAM BERKAMPANYE
Bekasi, Global Hot News.
Sudah menjadi kebiasaan umum di tengah masyarakat kita dalam berkampanye tidak sedikit yang menggunakan metode black-campaign. Padahal kondisi sehat tidaknya suatu masyarakat atau bangsa adalah dengan mengetahui cara berpolitik mereka saat berkampanye atau berkomunikasi melalui media. Semakin fair pola komunikasi kampanyenya maka semakin sehat lah kondisi sosial masyarakat itu. Dan bila masih banyak praktek kampanye hitamnya, maka semakin carut marut kondisi psikologis masyarakatnya.
Benar juga apa yang dikatakan seorang caleg, bahwa masyarakat yang berkarakter badut (Suka melucu apa kali ya maksudnya? Atau konyol? Entahlah?), maka dapat dipastikan akan memilih pemimpinnya yang juga berkarakter badut.
Lebih ekstrim lagi saya menganggap bahwa karakter masyarakat (dalam hal ini masyarakat kota Bekasi), memang masih "katrok". Terbukti saat saya mewawancara salah seorang konsultan tim sukses dari satu partai yang berbasis massa grass root (kalangan wong cilik), dia menanggapi bahwa penulisan profil di media internet kurang begitu efektif buat menjuju target konstituen partai dari calegnya yang seorang pengusaha wanita itu. Seolah dia beranggapan bahwa masyarakat kota Bekasi, kebanyakan (maksudnya target konstituennya) adalah gaptek (bisa dibilang bodoh?) sehingga gak mungkin menggunakan internet. Kebanyakan mereka adalah bukan orang-orang yang IT-minded.
Dari sekian banyak faktor yang menghambat suksesnya komunikasi massa dalam berkampanye, maka saya mencoba menjelaskan secara bertahap, hal sepele apa saja yang bisa menjadi trouble-shooting dalam kampanye efektif dan efisian seorang caleg. Berikut hal-hal sepele yang bisa menggangu seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya.
Penolakan di ring dalam Tim Sukses
Dan sang wanita konsultan komunikasi itu tidak memperkirakan apakah bahwa nanti target konsituennya akan menjadi pengguna internet di kemudian hari walau tak bisa dibilang cepat dalam hitungan tahun. Dia memukul rata semua target konstituennya "tak akan" pernah menggunakan internet. Padahal hasil survey mengatakan (tauk deh hasil survey mana saya lupa, tapi bisa saya kasih tauk linknya kalau mau... hehehe) bahwa hampir 40 persen warga Bekasi yang pekerja (commuter = pekerja Jakarta tinggal di Bekasi) adalah orang kantoran. Dan 40 - 60% dari mereka adalah pengguna aktif internet. Belum lagi sebagian besar siswa di Bekasi mulai dari SD sampe mahasiswa (saya berani perkirakan di atas 70%) yang tinggal di Kota Bekasi, adalah pengguna internet aktif walau tidak semua. Kalau kita ambil irisan pengguna internet aktif yang juga calon konstituen maka setidaknya ada sekitar (70% x 40% x x 40 % x jml konstituen di kota Bekasi) = 1,12 permil x BPP. Lalu apakah menurutnya (kapan-kapan saya kasih tahu nama wanita konsultan itu... tapi nggak di sini forumnya, hehehe).
Seandainya BPP satu wlayah adalah 123.000 orang konstituen, maka target impact yang akan dijuju oleh media internet dalam penulisan profil seorang kandidat caleg adalah sekitar: 1,2/1000 x 123.000 orang=13.776 orang. So apakah menurut dia jumlah konstituen sebanyak itu jadi tidak begitu penting/signifikan (istilahnya dia, emang ngaruh?).
Saya pun tertawa di depannya, (nggak pake ketawa dalam hati, tapi ketawa lebar meski nggak ngakak) kemudian saya mencoba mencerna maksud di balik ucapannya yang naif itu. Apa karena penulisan profil calegnya, dikenakan biaya penulisan yang terlalu mahal? Atau dia memang punya agenda komunikasi sendiri yang selalu dia klaim dengan ucapan, "Saya ini tim sukses yang selalu berusaha menggagalkan caleg saya sendiri dalam melakukan strategi kampanye..." Entah apa maksudnya berkata demikian kepada saya, tapi saya menangkap, bahwa dia bermaksud mengatakan saya bukan orang yang "yes man" dengan kebijakan kritis kampanye calegnya. (Yah bisa dibilang naif, bisa juga dibilang cerdas... tergantung sampai di mana pemahaman strategi komunikasi massa yang dia jalankan).
Kalau mau lebih obyektif lagi, wanita yang maunya dan sering dipanggil dengan sebutan Bunda itu, seharusnya dia juga melakukan survey juga untuk membuktikan apakah target konstituennya yang grass root benar-benar bukan pengguna internet sepert yang dia klaim.... Dan setiap kali saya jawab seperti demikian, dia selalu berkelit, "Ah susah bicara dengan wartawan, bisa-bisanya aja memutar-mutar kata, dan pintar-pintarnya aja memilin-milin kalimat. Kan awalnya anda yang minta saya untuk memberikan waktu wawancara dengan caleg saya. Lalu kenapa sekarang saya jadi merasa ditekan dengan perkataan dan permintaan anda?"
Saya pun tertawa lagi menanggapinya, kemudian saya berusaha untuk menjelaskan lagi kepadanya, siapa yang bilang saya yang menghubungi dirinya? Justru calegnyalah yang meminta saya untuk menghubungi dia (bunda sang konsultan kampanye) untuk membicarakan lebih lanjut tentang penulisan profil dirinya. Dan saya sudah katakan lebih rinci, tentang pentingnya mempromosikan jati diri seorang caleg ke setiap publik. Karena Publik berhak mengetahui setiap calegnya secara detail. Nah hal inilah yang tidak ditangkap oleh wanita konsultan itu. Biasalah wanita..... pertimbangannya "kadang" kurang logis (sekalipun dia mencoba untuk itu), ujung-ujungnya adalah masalah finansial.
Memang jujur saya katakan di sini, bahwa penulisan artikel profil tokoh, sebagai ajang promosi di dunia cyber memang sangat membutuhkan biaya. Lalu bagaimana mungkin saya (lebih tepatnya kami) bisa eksis, bila kami tidak mendapatkan masukan iklan atau dari advedrtorial (promosi profil).
Bahkan kami pun sempat dilecehkan, dengan pernyataannya bahwa kami masih dalam bentuk blogspot. Terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan, mulai dari, "Masih berupa blogspot ya?" "Apakah nyambung ke hyper text?" "Apakah bisa diakses melalui Yahoo atau Google?".... hahahaha kami pun tertawa mendengarnya, sebenarnya yang gaptek tuh siapa sih? Dia sebagai Konsultan apa rakyat Kota Bekasi. Sepertinya dia tidak tahu apa artinya Blogspot, dan apa itu wartaawan blogger..... atau mungkin dia mencoba belagak tidak tahu dengan maksud menjatuhkan mental kami. Saya pun menjawab itu dengan sedikit sok serius (inget! saya katakan sok serius, padahal dalam hati saya saya tertawa ngakak, karena merasa konsultan kampanye kok "narrow minded" kayak begini. -- Tenang aja dia nggak bakal baca tulisan saya ini, karena saya yakin betapa "teliti"nya dia untuk menggunakan internet sebagi bacaan wajibnya dia, sang konsultan itu, jadi dia nggak mungkin membaca blogs saya ini. Kalaupun nanti dia tahu, pasti sudah terlambat, pemilu sudah lewat, dan dia mengalami kekecewaan... hehehehe kan "sok gak belagak gaptek"!)
Saya pun mencoba mengerti cara berfikir dirinya, sang wanita yang masih kelihatan cantik itu (walau sebutannya Bunda) dengan perawakan jangkung yang memang bukan seorang caleg, tapi dia sudah berusaha sebaik-baiknya untuk melindungi calegnya (yang ternyata adalah teman dekatnya) untuk tidak mengeluarkan biaya yang tidak efisien dan tidak efektif. Apalagi bila untuk biaya penunjang komunikasi massa yang menurutnya tidak tepat sasaran. Sayang keterbatasan wawasnnya yang membuat ia berfikir negatif dan tidak membuka diri yang akan jadi penghalang dan maslahnya dalam berhadapan dengan media
Dalam ilmu manajemen, hal itu disebut manajemen yang tidak fleksibel. Apalagi di era yang serba high technology ini, segala perubahan dalam hal teknis komunikasi massa, tidak bisa tidak untuk mengikutinya. Bahkan kalau perlu disinergikan dengan komunikasi visual media luar ruang lainnya, seperti baligho, billboard, neon sign, sapnduk dan umbul-umbul. Semakin efektif lagi bila disinergikan dengan media massa, seperti koran, tabloid, atau majalah. Demikian pula media elektronik seperti radio dan TV.
Narsis dalam berkomunikasi tidak menunjuk pihak ketiga
Beragam black campaign yang dilakukan oleh masyarakat kita, khususnya yang saya amati terjadi di kota Bekasi, yakni mulai mengeluaran pernyataan yang bernuansa bombastis dan blaffing (menggertak) kepada media massa. Seperti yang dialami penulis, ketika sedang mewawancarai seorang caleg. Dia mengatakan dirinya (saya tidak menganggapnya narsis, namun kedengarannya seperti itu), mempunyai banyak akses dengan tokoh-tokoh penting di partai di wilayahnya. Lebih hebat lagi dia mengatakan, bahwa dirinya sudah banyak diminta banyak partai untuk masuk menjadi caleg dari partai mereka. Namun hanya satu partai yang dia terima karena pertimbangan strategi politis, dia mau menerimanya.
Kebiasaan caleg yang menceritakan kehebatan dirinya ini kadang meang sangat dilematis. Di satu sisi dia harus mempromosikan dirinya kepada para wartawan, tapi di sisi lain dia berusaha untuk tidak terlalu tampak berlebihan mengangkat diri (narsis). Dan itu membutuhkan bakat seni berkomuniksi yang baik. Bhasa tubuh serta non verbal jauh lebih efektif. Artinya dia tidak mengatakan apa yang menjadi idealismenya, namun perilakunya dalam berkomunikasi, menunjukkan kesantunan itu yang merupakan pesan non verbal yang ditangkap sang pewawancara.
Tak perlulah berkoar-koar tentang betapa pedulinya ia pada kebersihan, apalagi sambil menyudutkan orang lain dengan menyebut kan sesuatu yang sensitif menynggung SARA, sementara dia sendiri melakukan body language yang berlainan dengan ucapannya.
Cara berkomunikasi yang bertentangan antara lisan dan perbuatan inilah yang biasanya ditangkap dan ditanggapi negatif oleh para wartawan. Semikian pula saat berkonsolidasi dengan konstituen baik itu di daerah perkampungan maupun perumahan. Cara berkomuniasi yang menunjukkan ambivalensi ini (m,endua) sungguh sangat tidak efektif.
Sebagai contoh, bila dia berbicara tentang kesehatan, sementara di tangannya mash terselip sebatang rokok yang menyala, ini adalah satu unsur kontradiksi antara perkataan dan perbuatan yang tidak dia sadari. Atau ketika seorang caleg megantakan, bahwa dirinya tidak suka dengan isyu yang sangat rentan bersinggungan dengan SARA, tapi da sendiri membanggakan kedaerahannya atau kelompoknya yang majemuk.
Tidak sesuai kata dengan perbuatan
Demikian pula dengan ketidaksesuaian data dengan fakta sebenarnya di lapangan. Ada seorang caleg dari daerah tertentu yang padat dengan perumahan. Dia pernah mengatakan bahwa dia sangat terbuka dengan warga sekitarnya, bahkan dia selalu membuka pintu untuk warga (yah semacam open house), kemudian dia meng-kalim da mendapat dukungan banyak dari warganya, sementara disinyalir dari rekannya satu partai politik, bahwa dia menjadi anggota dewan karea tertolong oleh nomor urutnya yang kecil (nomor jadi), sementara perolehan suara hanya ratusan, tidak mencapai ribuan. Artinya, jangan mengatakan seuatu yang berlebihan kepada media, atau bahkan dusta. Karena itu bisa jadi senjata makan tuan, kontradiksi ucapan dengan data fakta yang ada di lapangan.
Black campaign bukan hanya sekadar ucapan yang mendiskreditkan orang, namun cara komunikasi yang tidak tepat, tidak efektif dan tidak efisien bisa dikategorikan sebagai black-campaign. Dalam hal ini saya tidak mengatakan mekanisme semata, namun lebih pada target sasaran dan media komunikasinyaserta caranya.
Bila sampah yang dimasukkan (dalam istilah dunia komputer) maka keluarnyapun adalah sampah.
(bersambung ke tulisan berikutnya.....)
Diposkan oleh
Anonymous
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ChatBox
Popular Posts
-
1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 1 Ir. Samuel Koto (Padang Panjang, 5 Juli 1956)(L)(Jakarta Selatan) -Ketua DPP Partai Hanura -salah se...
-
Gue mau tanya. Ketika gagal, biasanya kita suka cari kambing hitam bukan? Nah, yang gue tanyain, kenapa mesti kambing? Dan kenapa mesti ...
No comments:
Post a Comment