Monday, November 17, 2008
Logical Fallacy Part I (Sebuah Komentar Pendukung)
Setelah saya browsing blog yang saya pikir bisa memperluasa wawasan dan kemampan menulis saya, saya bertemu rekan yang biasa bertemu di cafe cyber hotspot, Iyan namanya. Dia merekomendasi saya untuk melihat satu blogs yang mungkin menarik untuk dilihat dan dijadikan sebagai referensi. Benar, namanya Masim "Vavai" Sugianto, ternyata banyak dari tulisannya yang inspiratif bagi saya. Berikut saya petik tulisan Vavai (panggilan akrab Rivai) di blogspot itu.
Friday, November 14. 2008 Masim Vavai Sugianto: Logical Fallacy Part I Saya sering mendengar orang melakukan execuse atas suatu perbuatan dengan membandingkannya pada hal lain yang tidak relevan namun dianggap dapat dijadikan sebagai alasan. Contoh 1 : "Wajar dong dia meletakkan batang besi di rel kereta api agar kereta api terguling dan dia mendapat barang-barang dari penumpang kereta yang celaka, karena jaman sekarang ini ekonomi susah dan pemerintah seharusnya bertanggung jawab mengatasi kemiskinan" Contoh 2 : "Kenapa koruptor yang cuma sekian puluh juta sementara yang ratusan miliar atau triliun tidak diburu..." Contoh 3 : "Kenapa harus mengurusi pornografi di TV, padahal ada lebih banyak kasus yang lebih porno. Kenapa nggak mengurusi anggota dewan yang kelihatan suci tapi ternyata ada yang selingkuh dan juga menjadi aktor film porno di handphone ?" Contoh 4 : "Korupsi terjadi karena masalah sistem pemerintahan. Siapapun yang menjabat pasti akan terindikasi dan tergoda untuk korupsi karena sistemnya bobrok. Bukan salah mereka korupsi karena sistem sendiri membuka peluang untuk korupsi. Perbaiki sistem terlebih dahulu baru gembar-gembor korupsi" Ungkapan-ungkapan di atas sekilas terlihat benar padahal mengandung logika yang salah. Ungkapan yang disampaikan memiliki asumsi bahwa penanganan suatu masalah merupakan satu hal terpisah. Jika kita berpendapat A, seolah-olah kita hanya berpendapat A. Jika kita bilang bahwa koruptor, meski hanya korupsi sekian puluh juta dihukum, logika di atas akan mengasumsikan bahwa kita hanya terfokus pada korupsi sekian puluh juta dan menafikan korupsi lain yang lebih besar, padahal maksudnya, jika yang kecil saja diberantas, apalagi yang besar. Contoh 3 : juga biasa menjadi sumber perdebatan. Pembatasan pornografi dibenturkan dengan kasus amoral yang lain konteks seolah-olah jika kita mendukung pembatasan pornografi akan membiarkan perbuatan amoral dilain konteks. Pernah ada seorang artis yang cenderung berpenampilan mesum yang berkata bahwa dia akan berhenti berbuat demikian jika seluruh pejabat sudah benar moralnya. Lha opo tumon. Tanpa bertanyapun semua orang tahu bahwa itu hal yang tidak mungkin. Untuk contoh 4, korupsi dianggap sebagai masalah sistem. Perbaikan sistem merupakan operasi jangka panjang. Mungkin butuh puluhan tahun menjadikan sistem di Indonesia mampu mengeliminir peluang korupsi. Apa kita harus menunggu puluhan tahun untuk memberantasnya. Pada akhirnya saya jadi teringat petuah lama, "Perjalanan 1000 mil (li, km, etc) dimulai dari langkah pertama". Kalau kita tidak memulainya sekarang, lantas kapan lagi dong ah... * Catatan yang mengalir di kepala saat menunggu proses kompilasi program :-) . CMIIW.
Saya pun berfikir, sebenarnya kesalahan logika yang dimaksud oleh Bung Masim Vavai memang benar adanya. terjadinya bukan hanya di Jakarta, namun hampir seluruh kota dan daerah di Indonesia. Dengan adanya media-media yang bisa mengekspose setiap ucapan para tokoh (bisa kecil maupun besar) maka proses eksploitasi wacana-wacana yang asbun (boleh disebut asal njeplak walau terdengar kasar), membuktikan bahwa tidak sedikit dari bangsa kita yang kemampuan logikanya telah disesatkan dengan aksioma-aksioma cara berfikir barat yang membodohi logika kita.
Kata-kata terakhir tadi tidak bermaksud menggenaralisir bahwa semua pemikiran barat adalah membodohi. Kesalahan Logika sebenarnya adalah ilmu matematika yang universal, tak perduli dari mana berasal. Sebagai contoh di atas, bahwa asal mula kesalahan logika komunikasi yang dilakukan baik itu tokoh terkenal maupun tokoh tak terkenal karena budaya ketimuran kita sudah bukan merupakan pegangan dasar dalam bertingkah laku. Saat masuk budaya "setan" (saya akan bahas kemudian di lain waktu tentang istilah "setan" ini), maka segala cara dialektika, wacana dan komunikasi massa untuk membenarkan dan pembenaran perilaku yang mengundang kontroversi dengan kebiasaan positif bagi bangsa kita, maka hanya logika matematika yang salah lah yang dipakai mereka. Bagi saya ini adalah "sihir" yang tak mempan buat dijampi-jampikan (wacana yang dilempar ke publik=sihir) kepada mereka yang mengaku masih menggunakan logika sehatnya.
Kita lihat contoh seorang penyanyi dangdut yang sudah kebablasan dalam segala hal, dan justrun malah menaikkan popularitasnya ketika mengeluarkan pernyataan ke media massa seperti ini:
Contoh 3 : juga biasa menjadi sumber perdebatan. Pembatasan pornografi dibenturkan dengan kasus amoral yang lain konteks seolah-olah jika kita mendukung pembatasan pornografi akan membiarkan perbuatan amoral dilain konteks. Pernah ada seorang artis yang cenderung berpenampilan mesum yang berkata bahwa dia akan berhenti berbuat demikian jika seluruh pejabat sudah benar moralnya. Lha opo tumon. Tanpa bertanyapun semua orang tahu bahwa itu hal yang tidak mungkin.....
Kalimat "sihir" macam di atas memang kesalahan logika yang sangat fatal. Bukan karena "kebodohan" sang pelontar kalimat tersebut, lebih tepatnya, karena "kesombongan" akhlak, dia hendak menyatakan "pembenaran atas apa yang dia buat", bahwa dia pantas lah melakukan itu, dengan logika "kan semua pejabat juga belum benar akhlaknya". Logikanya adalah, kalau yang lain saja masih tenggelam dalam kubangan perbuatan "amoral" (saya sebenarnya lebih senang menggunakan kata "maksiat" tapi kuatir menimbulkan salah arti dan sang artis nanti merasa "apa" yang dilakukannya itu "bukan maksiat" -- dan ini semakin jauh dari tujuan saya untuk menyadarkan kesalahan logikanya), lalu mengapa sang artis harus mengentaskan diri dari kubangan perbuatan amoral yang dilakukannya, yakni menari dengan gaya erotis. ARTINYA, secara sadar dia mengakui bahwa "gaya pertunjukannya" memang "amoral" (sekali lagi kalu itu nggak mau dibilang maksiat dan pornoaksi.
Ini berarti bahwa kesalahan logikanya, sang artis yang sebagian ulama menghujat sebagai Penebar Penampilan Pornoaksi ini, dia BERANI membenarkan perbuatan amoralnya karena yang lain juga masih berbuat amoral. Istilahnya, kalau ada orang lain yang berbuat amoral, kenapa saya nggak boleh?
Nah di sinilah kesalahan logikanya yang utama. Dalam ajaran Islam sendiri telah ada sunnah Nabi Muhammad bahwa kita HARUS "Berlomba-lomba berbuat Kebaikan, dan Mencegah perbuatan Munkar" (Amar Ma'ruf, Nahyi Munkar). Kemudian Nabi pun pernah bersabda, tentang masalah sekecil-kecilnya IMAN kita adalah saat melihat kemunkaran ada di depan mata kita, maka orang yang BERIMAN harus berusaha untuk mencegahnya dengan TANGANnya. Bila tidak mampu maka dengan KATA-KATAnya. Dan bila tidak mampu, maka dia harus menentang perbuatan itu dengan HATInya. Dan yang terakhir ini, adalah selemah-lemahnya iman.
Tanpa bermaksud memperlebar bahasan ini ke ranah agama dan keimanan, namun dari situ bisa disimpulkan, bahwa KESALAHAN LOGIKA (FALLACY LOGIC), sebenarnya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, saat kaum penyembah berhala menentang para nabi mereka. Mereka selalu menggunakan logika yang salah. Ini karena mereka memang hanya memiliki senjata "ITU" semata. Yakni SIHIR KATA-KATA (yang tentunya sarat kesalahan logika). Tak ada dasar aturan moral dan akidah bahwa apa yang mereka lakukan dan katakan akan berakibat fatal di kemudian hari.
Pembahasan matematis tentang hal ini adalah bahwa "JIKA 1 adalah sebuah angka, dan 2 adalah sebuah angka, maka 1=2" Padahal sebenarnya yang dimaksud dari kalimat di atas adalah, bila 1 adalah anggota himpunan angka dan 2 adalah anggota himpunan angka, tapi 1 tidak sama dengan 2, namun 1 dan 2 adalah sama-sama anggota himpunan angka.
Jadi kalau para "pembodoh publik yang bodoh" (kalau mereka nggak sadar dan marah dengan sebutan itu, silakan hubungi saya via telepon, karena mereka lebih pantas disebut demikian dari pada saya sebut "kafir" atau "munafik" atau "fasiq").
Banyaknya kalangan politisi dan artis "dadakan" yang karena racun publisitas, mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan "bodoh dan dungu", menunjukkan betapa tingkat kesadaran "agama(spiritualisme)" dan intelektual mereka yang "cetek" alias dangkal. Sudah semestinya orang seperti mereka mendapatkan "penghinaan" yang sepantasnya. Namun begitu saya masih "menyembunyikan" nama mereka (sekalipun anda mahfum dengan siapa yang saya maksud), saya baru akan menuliskan nama mereka bila saya bisa mewawancarai mereka secara langsung dan "beradu" argumentasi dengan kesaktian mereka (yang pasti mereka tidak sakti dan justru "dungu").
Sekarang ini bagaimana kita, sebagai orang yang sadar bahwa logical fallacy atau kesalahan logika, tidak menggejala menjadi "kedunguan" publik yang akhirnya akan menjadi keumuman (kebiasaan umum) yang pastinya sangat merendahkan derajat bangsa kita sebagai bangsa timur yang punya kepribadian dan akhlak tinggi.
Diposkan oleh
Anonymous
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ChatBox
Popular Posts
-
1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 1 Ir. Samuel Koto (Padang Panjang, 5 Juli 1956)(L)(Jakarta Selatan) -Ketua DPP Partai Hanura -salah se...
-
Saat sebagai Koordinator Wilayah DI Yogyakarta, bersama Ketua DPD Partai Demokrat Yogyakarta yang juga merupakan salah satu putra Sri Sulta...
-
Bekasi, dobeldobeldotcom. Nah beberapa contoh di bawah ini termasuk baliho baru yang entah kreatif atau memang mencoba membuat " niche ...
-
Gue mau tanya. Ketika gagal, biasanya kita suka cari kambing hitam bukan? Nah, yang gue tanyain, kenapa mesti kambing? Dan kenapa mesti ...
Iya. Ini bisa jadi game favorit keluarga: menghitung berapa banyak kekeliruan logika yang diucapkan seseorang saat debat (politik, biasanya) di TV.
ReplyDeleteReferensi utama:
www.logicalfallacies.info
http://en.wikipedia.org/wiki/Logical_fallacy